Kebiasaan diajak sang Ayah
menonton film di bioskop, mengantarkannya menjadi salah seorang penulis
skenario terbaik yang dimiliki negeri ini.
Siang
terik di hari pertama Ramadan, mungkin bukan waktu yang tepat untuk membuat
janji bertemu seseorang. Namun perbincangan dengan Ayah dua anak ini nyatanya
mampu menafikan perasaan itu. Dia adalah sosok penting di balik film-film
bermutu produksi negeri ini. Muda, cerdas dan penuh semangat untuk membuat film
Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri tapi juga di mancanegara.
Lahir dan besar di kawasan Menteng,
bungsu dari dua bersaudara ini tak pernah terpikir akan menjadi seorang pekerja
film. Tapi dengan gamblang dia mengakui bahwa film adalah cinta pertamanya.
Sejak berusia lima tahun, Aris, begitu
Salman Aristo biasa disapa, sudah sering
diajak ayahnya menonton di bioskop. Jika anak seusianya kala itu menangis dan
takut saat memasuki gedung bioskop yang gelap, Aris sebaliknya. Dia merasa
mendapat sebuah kesenangan baru yang tak sebanding dengan mainan anak-anak
umumnya. Ini sesuatu yang berbeda! Sebuah jeratan fantasi yang tak bisa
digambarkan dengan kata-kata.
“Waktu itu, film Indonesia sedang berada
di puncak kejayaannya. Dalam sebulan, kami bisa empat hingga lima kali ke
bioskop. Nonton Warkop,” kata Aris yang ketika SMP mulai pergi nonton sendiri.
“Uang jajan saya habis untuk membeli
kaset dan nonton film di bioskop. Di keluarga saya, urusan membeli buku sudah
menjadi keharusan. Jadi, kapanpun saya minta uang untuk membeli buku tidak akan
pernah ada pertanyaan. Tapi, kalau untuk membeli kaset dan nonton film, tentu
lain masalahnya.”
Sayangnya, di saat kecintaannya pada film
semakin besar, film Indonesia sudah menghilang dari gedung bioskop. Produksi
film mati selama satu dekade. Alumni Jurusan Jurnalistik, Universitas
Padjajaran ini pun beralih menjadi penonton setia film-film Hollywood.
“Saya mencintai film secara detil tidak
hanya permukaannya saja. Karena dulu tidak segampang sekarang dalam mengakses
referensi, saya pun rajin mengulik berbagai informasi tentang film di Pusat
Perfilman H.Usmar Ismail yang ada di Kuningan, Jakarta. Saya membaca ratusan
skenario sehingga membuat saya paham bagaimana menulis skenario yang baik. Saya
adalah seorang otodidak di bidang ini,” kata penulis skenario andal yang
memulai debutnya lewat film Brownies, karya Hanung Bramantyo.
“Film pertama
yang mengantarkan saya sebagai nominator penulis skenario terbaik di FFI 2005.”
Bahayanya Mindset
Menyadari
cintanya pada film hanya bisa sebatas menjadi penikmat saja, mantan jurnalis
ini memilih ngeband. “Dulu, saya menganggap film itu adalah sesuatu yang mahal
dan saya tak mungkin sanggup menggelutinya. Beda dengan ngeband, masih bisa
patungan buat sewa studio.”
Sejak SMA, pembetot bas di grup
Silentium ini mulai bermusik dengan berpatungan menyewa studio latihan di dekat
rumahnya, di kawasan Manggarai. Kebiasaan bermusik terus terbawa hingga dia
kuliah di Bandung. “Saat itu, musik-musik indie
sedang digandrungi, terutama di kalangan anak-anak muda di Bandung,” kata
Managing Director Rumah Produksi SBO yang menyesali pemikirannya kala itu
tentang film.
“Itulah bahayanya mindset. Karena pemikiran yang salah itu, saya bahkan mengabaikan kalau di TIM, yang sebenarnya tak jauh dari
rumah saya, terdapat IKJ dimana saya bisa belajar tentang film,” ujar penulis
skenario film fenomenal Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Garuda Di Dadaku 1 dan 2 , Sang Pemimpi dan Negeri 5 Menara.
Saat film Ayat-Ayat Cinta sedang
diproduksi, Aris diminta untuk menulis skenario Laskar Pelangi dan kemudian
Garuda Di Dadaku.
“Ketiga film yang Alhamdulillah menembus box office itu, skenarionya saya tulis berurutan. Bahkan untuk
skenario Ayat-Ayat Cinta, saya menulis skenarionya bersama istri saya, Retna Ginatri
S. Noer. Saya ingin mendapatkan sentuhan perempuan dalam film tersebut.” Sang
istri sendiri merupakan penulis skenario yang dikenalnya dalam sebuah kompetisi
pembuatan film pendek dimana Aris menjadi jurinya.
Tidak Idealis, Tapi
Realistis
Menjalankan
profesi sebagai penulis skenario film, bagi ayah dari Biru Langit (7 tahun) dan
Akar Randu (4,5 tahun) bukan sekadar untuk mendapatkan materi semata, tapi kesenangan
dan kenikmatan dalam bekerja.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau
harus menerima tawaran menulis sesuatu yang tidak saya sukai. Betapa
tersiksanya saya menghabiskan berbulan-bulan waktu saya terperangkap dengan hal
yang tidak saya suka. Saya menolak pekerjaan bukan karena saya orang yang
idealis, melainkan karena saya adalah orang yang realistis.”
Untuk setiap skenario film yang
ditulisnya, Aris mengaku membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan, bahkan untuk
skenario film Penari, dia menulisnya dalam waktu tiga tahun. “Saya orangnya
detil dan selalu melakukan riset mendalam untuk setiap cerita yang saya tulis.
Saat saya menulis skenario film Brownies, saya sampai belajar membuat brownies.
“
Selain sukses mengadaptasi novel best
seller menjadi film laris, peraih penghargaan International Grand pada Jiffest
Script Development Compettition tahun 2006 mengaku mendapatkan tantangan
tersendiri dalam mengadaptasi novel menjadi film.
“ Tantangan terbesarnya adalah ekspetasi
dari pembaca novel tersebut. Dan sekarang, pilihan ada di tangan saya. Apakah
harus memuaskan keinginan orang banyak atau bertahan dengan pemikiran saya sendiri. Bagi
saya, dengan dipercaya untuk mengadaptasi novel menjadi film, berarti saya
harus berusaha menciptakan versi yang
berbeda dari novelnya. Bukannya malah copy-paste. Seperti kata Andrea Hirata,
kalau filmnya sama persis dengan novelnya, buat apa novel itu dibuat film,”
kata produser film Aries, Foto Kotak dan Jendela, Asmara Dua Diana, Queen Bee,
5 Elang, Garuda Di Dadaku 1 dan 2 serta Negeri 5 Menara.
Meski kebanyakan skenario yang
ditulisnya menuai sukses, bukan berarti Aris tidak pernah mendapat penolakan.
“Banyak cerita saya yang ditolak produser demikian pula dengan tawaran produser
yang tidak saya terima. Semua tergantung chemistry
diantara kedua belah pihak. Karena saya bekerja bukan semata-mata untuk
mendapatkan uang tapi juga berkarya. Saya selalu mencintai pekerjaan saya dan
melakukannya dengannya dengan sepenuh hati.”
Menyadari minimnya penulis skenario di
jagat perfilman maupun pertelevisian di Indonesia, Aris kini membentuk sebuah
sindikasi penulisan skenario. “Basic film itu adalah kerja tim, dan
keberhasilan sebuah film karena kerja keras semua yang terlibat di dalamnya.
Penulis skenario harus duduk satu meja dengan produser dan sutradara dan
bersinergi . Soal berdebat itu biasa,” kata laki-laki yang kini menularkan hobi
membaca pada anaknya.
Sebuah insprasi yang menghidupkan siang
pertama Ramadan. Mengalahkan terik matahari dengan keteguhan cinta yang sudah
terbina sejak masa kanak-kanak. Melahirkan semangat baru untuk perfilman di
negeri ini sebesar cinta pertama Salman Aristo.
Foto : Facebook Salman Aristo & Google Image
Tidak ada komentar:
Posting Komentar